Ku tahu sebaik apapun ku berusaha
Ku hanya manusia biasa
Yang penuh lupa dan dosa
Tapi pada-Mu ya Rabb ku pinta
Siapapun bidadari yg kau siapkan untukku
Semoga ku bisa menjadi yang terbaik baginya
Karena ku tahu ya Rabb ku
Dialah yang terbaik untukku
Dan semoga ya Rabb
Semoga Dalam naungan cinta-Mu
Kita dapat bersama
Dan selalu saling mengingatkan
Untuk sebuah cinta suci mulia
Agar dapat kembali bersua,
Di surga-Mu
Ku hanya manusia biasa
Yang penuh lupa dan dosa
Tapi pada-Mu ya Rabb ku pinta
Siapapun bidadari yg kau siapkan untukku
Semoga ku bisa menjadi yang terbaik baginya
Karena ku tahu ya Rabb ku
Dialah yang terbaik untukku
Dan semoga ya Rabb
Semoga Dalam naungan cinta-Mu
Kita dapat bersama
Dan selalu saling mengingatkan
Untuk sebuah cinta suci mulia
Agar dapat kembali bersua,
Di surga-Mu
Puspita tak percaya pada lembaga pernikahan, namun tantangan Idan untuk membuktikannya tak bisa ditolak. Maka mereka pun melakukan simulasi pernikahan.
Ku sungguh-sungguh tidak mengerti kenapa orang harus menikah,” gerutuku.
Idan tertawa. “Ibumu menanyakan calonmu lagi?” Aku mengangguk cemberut.
“Apa jawaban mu kali ini?” godanya.
“Aku tidak menjawab. Aku langsung meninggalkan ruang makan dan masuk ke kamar.”
Idan terbahak. “Kau kekanak-kanakan,” katanya.
“Habis jawaban apalagi yang mesti kuberikan, Dan? Aku sudah kehabisan alasan, kehabisan stok bohong. Dan ibuku malah makin gencar menteror.”
Idan tersenyum. “Kau benar-benar seperti anak-anak. Kalau kau jadi ibumu, apa kau tidak akan blingsatan kalau anakmu belum juga menikah pada usia tiga puluh tiga.”
“Aku akan sangat gembira kalau anakku tidak menikah seumur hidupnya,” komentarku.
Alis Idan terangkat. “Kenapa?”
“Pernikahan hanya memperumit hidup perempuan.”
“Pernikahan juga membuat hidup laki-laki lebih sulit.”
“Persis!” potongku. “Untuk apa menikah kalau yang kita dapat hanya kesulitan?”
“Mungkin karena kesulitan itu hanya efek sampingnya, sementara keuntungannya lebih banyak?”
“Sok tahu,” cibirku. “Kau sendiri belum menikah. Apa yang kau tahu tentang keuntungan menikah.”
“Aku sudah cukup banyak belajar, Pit. Umurku sendiri sudah tiga puluh lima, kebanyakan teman-temanku sudah berkeluarga.”
“Tapi kau tidak! Akui sajalah. Kau setuju kan kalau hidup sudah cukup pelik tanpa perlu lagi menikah?”
Idan tersenyum. “Ya, memang.”
“Lebih enak hidup seperti ini. Bebas!”
“Setuju. Tapi ingat, aku bukan sama sekali tidak mau menikah, lho. Aku hanya masih menunggu calon yang pas.” Dan aku menghela nafas panjang.
“Ah, ya. Calon.”
“Itu kan sebenarnya alasanmu untuk tidak juga menikah?”
“Ya, ” gumamku enggan.
“Bukan karena kau sama sekali anti menikah.”
Aku menggeleng. “Jangan bilang siapa-siapa, tapi kadang-kadang aku kepingin juga digandeng seseorang saat datang ke pesta.”
“Tapi kau bisa saja bergandengan dengan salah satu pacarmu kan?”
“Gandengan pacar itu lemah. Gampang putus,” komentarku pahit. “Maksudku, aku mau orang yang sama menggandeng tanganku ke mana pun aku pergi.”
“Apa susahnya menggaji orang yang mau menggandeng tanganmu ke mana-mana? Ini zaman susah. Banyak pengangguran.”
“Idan!” kuayunkan tanganku, tapi begitu hapalnya ia dengan reaksiku ia menghindar sambil tertawa.
“Kau sadar kan kalau menikah itu lebih dari sekadar mengontrak penggandeng tetap?” tanyanya kemudian, lebih serius.
“Ya. Justru itu. Aku tidak bisa membayangkan menikah dengan orang yang salah. Kalau saja,” aku terdiam.
“Apa?”
“Kalau saja aku bisa yakin bahwa lelaki itu akan tetap manis dan baik hati setelah ia berhasil menikahiku. Bagaimana seorang perempuan bisa tahu kalau lelaki yang merayunya ternyata suami yang payah? Yang suka memukuli, mencaci maki, Menghina; orangnya pelit, cemburuan, suka berbohong dan berkhianat.”
“Pit, laki-laki yang begitu sedikit sekali.”
Aku menggeleng. “Semua laki-laki binatang.”
“Bagaimana dengan aku? Aku laki-laki.”
“Kau bukan lelaki, Dan. Kau malaikat.”
Idan terbelalak. Didekapnya dada kirinya dan ia terkulai di kursinya.
“Idan!” desisku. “Nanti orang-orang memperhatikan kita!”
“Pit, kau sadar kalau aku belum mati? Aku harus mati dulu sebelum jadi roh dan mengajukan lamaran menjadi malaikat,” dan ia kembali terkulai, mata tertutup, lidah terjulur.
“Idan, Idan,” desahku. “Kalau kau memang mau menikah, berobatlah.”
Ia tergelak. “Dan kau. Kalau kau memang mau menikah, percayalah setidak-tidaknya pada satu orang saja dari golongan laki-laki.”
“Aku tidak bisa, Dan.”
Idan tertawa. “Ibumu menanyakan calonmu lagi?” Aku mengangguk cemberut.
“Apa jawaban mu kali ini?” godanya.
“Aku tidak menjawab. Aku langsung meninggalkan ruang makan dan masuk ke kamar.”
Idan terbahak. “Kau kekanak-kanakan,” katanya.
“Habis jawaban apalagi yang mesti kuberikan, Dan? Aku sudah kehabisan alasan, kehabisan stok bohong. Dan ibuku malah makin gencar menteror.”
Idan tersenyum. “Kau benar-benar seperti anak-anak. Kalau kau jadi ibumu, apa kau tidak akan blingsatan kalau anakmu belum juga menikah pada usia tiga puluh tiga.”
“Aku akan sangat gembira kalau anakku tidak menikah seumur hidupnya,” komentarku.
Alis Idan terangkat. “Kenapa?”
“Pernikahan hanya memperumit hidup perempuan.”
“Pernikahan juga membuat hidup laki-laki lebih sulit.”
“Persis!” potongku. “Untuk apa menikah kalau yang kita dapat hanya kesulitan?”
“Mungkin karena kesulitan itu hanya efek sampingnya, sementara keuntungannya lebih banyak?”
“Sok tahu,” cibirku. “Kau sendiri belum menikah. Apa yang kau tahu tentang keuntungan menikah.”
“Aku sudah cukup banyak belajar, Pit. Umurku sendiri sudah tiga puluh lima, kebanyakan teman-temanku sudah berkeluarga.”
“Tapi kau tidak! Akui sajalah. Kau setuju kan kalau hidup sudah cukup pelik tanpa perlu lagi menikah?”
Idan tersenyum. “Ya, memang.”
“Lebih enak hidup seperti ini. Bebas!”
“Setuju. Tapi ingat, aku bukan sama sekali tidak mau menikah, lho. Aku hanya masih menunggu calon yang pas.” Dan aku menghela nafas panjang.
“Ah, ya. Calon.”
“Itu kan sebenarnya alasanmu untuk tidak juga menikah?”
“Ya, ” gumamku enggan.
“Bukan karena kau sama sekali anti menikah.”
Aku menggeleng. “Jangan bilang siapa-siapa, tapi kadang-kadang aku kepingin juga digandeng seseorang saat datang ke pesta.”
“Tapi kau bisa saja bergandengan dengan salah satu pacarmu kan?”
“Gandengan pacar itu lemah. Gampang putus,” komentarku pahit. “Maksudku, aku mau orang yang sama menggandeng tanganku ke mana pun aku pergi.”
“Apa susahnya menggaji orang yang mau menggandeng tanganmu ke mana-mana? Ini zaman susah. Banyak pengangguran.”
“Idan!” kuayunkan tanganku, tapi begitu hapalnya ia dengan reaksiku ia menghindar sambil tertawa.
“Kau sadar kan kalau menikah itu lebih dari sekadar mengontrak penggandeng tetap?” tanyanya kemudian, lebih serius.
“Ya. Justru itu. Aku tidak bisa membayangkan menikah dengan orang yang salah. Kalau saja,” aku terdiam.
“Apa?”
“Kalau saja aku bisa yakin bahwa lelaki itu akan tetap manis dan baik hati setelah ia berhasil menikahiku. Bagaimana seorang perempuan bisa tahu kalau lelaki yang merayunya ternyata suami yang payah? Yang suka memukuli, mencaci maki, Menghina; orangnya pelit, cemburuan, suka berbohong dan berkhianat.”
“Pit, laki-laki yang begitu sedikit sekali.”
Aku menggeleng. “Semua laki-laki binatang.”
“Bagaimana dengan aku? Aku laki-laki.”
“Kau bukan lelaki, Dan. Kau malaikat.”
Idan terbelalak. Didekapnya dada kirinya dan ia terkulai di kursinya.
“Idan!” desisku. “Nanti orang-orang memperhatikan kita!”
“Pit, kau sadar kalau aku belum mati? Aku harus mati dulu sebelum jadi roh dan mengajukan lamaran menjadi malaikat,” dan ia kembali terkulai, mata tertutup, lidah terjulur.
“Idan, Idan,” desahku. “Kalau kau memang mau menikah, berobatlah.”
Ia tergelak. “Dan kau. Kalau kau memang mau menikah, percayalah setidak-tidaknya pada satu orang saja dari golongan laki-laki.”
“Aku tidak bisa, Dan.”
“Berarti kau memang tidak bisa menikah. Tidak mungkin dan tidak akan. Dan kalau kau memaksakan diri, kau akan merana. Dan kalau kau sengsara kau akan makan makin banyak. Dan kalau kau makan banyak-banyak kau akan”
“Idan!” walaupun nada suaraku keras, aku tak bisa menahan senyum mendengar pernyataan konyol itu. Setelah dua puluh tahun menjadi sahabatku, ia benar-benar telah memahamiku.
“Idan!” walaupun nada suaraku keras, aku tak bisa menahan senyum mendengar pernyataan konyol itu. Setelah dua puluh tahun menjadi sahabatku, ia benar-benar telah memahamiku.
nice design and so different with others.
BalasHapusisinya jg bagus, gue banget deh hehehe
khusnul