Senin, 28 Februari 2011

Setelah Kau Menikahiku Part 7

Sebulan pertama aku berusaha mengerti. Ia selalu pulang dengan mata berbinar hingga aku tak tega mengeluh dan protes. Tapi di pekan kelima kesabaran kutandas, dan pagi itu, saat ia tengah memasukkan botol air minum dan kotak rotinya ke dalam tas, aku memintanya untuk tidak memancing.

“Temani aku jalan-jalan ke mal sore ini,” pintaku.
“Kau kan bisa pergi sendiri,” katanya sambil memasukkan kaus bersih dan handuk kecil.
“Seingatku kau berjanji untuk selalu menggandeng tanganku ke mana pun.”
“Aku tidak bisa mangkir memancing hari ini, Pit,” ia masih tetap tak memandang ke arahku, sibuk dengan sepatu bolanya. “Aku sudah janji dengan kawan-kawanku untuk mencoba tempat memancing baru.”
“Kau bisa mencobanya minggu depan.”
“Tadi malam tidak ada bulan, Pit. Ikan-ikan akan sangat rakus hari ini,
” ia tersenyum sambil melompat-lompat dengan sepatu bola barunya. “Aku bisa memecahkan rekor sepuluh kilo sore nanti!”
“Minggu depan voucher diskon salonku sudah tidak berlaku lagi,” gumamku.
“Pakai voucher dariku saja,” sahutnya ringan sambil mulai lari-lari di tempat. “Berapa diskon yang kau dapat dengan voucher itu? Kalau kuberi lima belas ribu cukup?”
“Idan! Itu hanya cukup untuk beli minum selama di salon.”
Aku bisa cukur rambut plus dipijit plus minum kopi dengan lima belas ribu.”
“Oh, Tuhan!”

Idan berhenti berlari-lari dan berdiri di hadapanku dengan tangan di pinggang. “Pit, kau sudah cantik begini. Tidak perlu ke salon lagi.”
“Aku sudah cukup yakin dengan kecantikan, terima kasih. Yang aku butuh cuma keluar dari rutinitas harianku, dan aku memilih melakukannya dengan jalan-jalan.”
“Jadi? Apa yang kau tunggu? Pergilah. Aku tidak melarangmu. Kalau kau bawakan aku oleh-oleh, aku akan lebih tidak keberatan.” “Ini bukan masalah kau melarang atau tidak, Dan. Apa enaknya jalan-jalan sendirian? Aku perlu teman.”
“Kalau begitu ajaklah teman-temanmu.”
“Sudah. Mereka punya acara sendiri-sendiri. Dengan suami-suami mereka.”
Idan mengerutkan keningnya. “Kau mau melewatkan hari Minggu denganku?”
“Ya!”
“Kenapa tidak bilang dari tadi. Tentu saja kau boleh ikut ke lapangan sepak bola lagi. Aku akan senang kalau kau ada di sana.”
“Idan!” jeritku. “Kau ini buta, tuli atau imbesil sih? Kau tahu aku benci sepak bola dan lebih benci lagi memancing!”
Mata Idan menyipit. “Dan kau tahu aku alergi jalan-jalan ke mal,” desisnya.
“Kupikir sudah waktunya kau mengalah sekali-sekali.”
“Mengalah!” suaranya meninggi. “Apa aku masih kurang mengalah selama ini? Pit, kau sudah menyita enam kali dua puluh empat jam waktuku , apa kau tidak bisa memberiku….”

“Enam kali dua puluh empat? Enam kali dua! Kita hanya benar-benar bertemu dan bicara satu jam saat sarapan dan satu jam waktu makan malam!”
“Kita bisa mengobrol lebih banyak kalau kau mau lebih banyak melewatkan waktu denganku! Tapi tidak! Kau lebih memilih mengurung diri di kamar dengan Pavarotti dan Flamingo.…”
“Placido Dom ingo! Maaf, Dan, waktuku terlalu berharga untuk dipakai menyaksikan orang-orang saling membunuh tiap dua menit atau dua puluh dua orang memperebutkan satu bola kulit!”
“Setidak-tidaknya itu lebih jujur dan bisa dimengerti dari film-filmmu yang becek air mata itu!”
“Kau kekanak-kanakan!”
“Dan kau, Tuan Putri, kau egois!”

Ia menyambar tasnya dan melangkah lebar-lebar keluar lewat pintu samping. Aku masuk ke ruang makan dan membanting pintu di belakangku. Seperti inikah perasaan para istri setelah bertengkar dengan suaminya?Dadaku sesak dan kepalaku sakit. Aku benci menjadi cengeng,tapi air mata kecewa mulai membuat mataku pedih. Aku sama sekali tidak mengira sesuatu seperti ini terjadi padaku. Aku tahu Idan melakukan semua ini, simulasi ini, untukku, tapi selama ini aku tidak pernah menuntut apa pun darinya. Sebaliknya, aku telah berkorban banyak sekali sejak aku menikah simulasi dengannya, mengurangi jadwal clubbing-ku, pulang dari kantor sesegera mungkin, memperhitungkan apa ia akan menyukai makanan yang kubeli. Apa ia telah berbuat sama banyaknya untukku ? Tidak!

Kubuka lemari es dan kukeluarkan satu kotak es krim cokelat kesukaanku. Pagi itu kulewatkan di depan televisi, menyaksikan film melankolis, air mataku kubiarkan meleleh tanpa henti, dan sekotak es krim itu pun habis tanpa terasa. Idan kembali pukul setengah sebelas, masih cemberut. Ia langsung mandi dan tak lama kemudian kembali ke ruang duduk sudah rapi dengan t-shirt dan celana jins.

“Kalau kau mau ke mal, aku sarankan kau mandi dan dandan sedikit,” katanya.
“Aku tidak mau pergi ke mal.”
“Kau bilang tadi pagi….”
“Aku tidak mau merepotkanmu. Aku tidak mau kau gatal-gatal karena alergimu kumat.” 
“Upit, kalau kita tidak pergi sekarang, kita bisa pulang terlalu sore.
Aku ada janji jam empat….”
“Aku bilang aku tidak mau ke mal! Kau bisa pergi memancing sekarang kalau kau mau.”
“Jangan seperti anak kecil begini, Pit,” geramnya. “Ayo!”
“Tidak! Dan kalau kau marah dan mau minggat seperti dulu lagi, silakan!”

Meski sudah bersikap menyebalkan, Puspita tidak berhasil membuat Idan marah. Pria itu malah bersikap sangat manis.

Tidak ada komentar :

Posting Komentar