Kamis, 03 Maret 2011

Setelah Kau Menikahiku Part 14

Kartu itu bergetar di tanganku dan tulisannya kabur dalam genangan air mataku.
“Ita,” tanya sekretarisku yang, entah kapan, telah memasuki ruangan.
“Ada apa?”
“Tidak apa-apa,” bisikku, mencoba mengendalikan diri. “Tolong keluar sebentar. Aku harus menelepon Idan.” Begitu ia keluar, dengan sangat enggan kudial nomor kantor Idan. Aku tiba-tiba sadar bahwa sejak menikah dengannya aku tak lagi pernah mengadu dan bertanya kepadanya tentang segala hal yang menyangkut hati dan perasaan. Dan kini, aku tahu aku sangat membutuhkan masukannya, seperti dulu, sebelum ia menjadi suami simulasiku.
“Idan.”
“Upit? Ada apa pagi-pagi begini?”
“Aku …. Kau tahu …, ” aku terbata. Bagaimana mulai menceritakan kepada suamiku walaupun hanya simulasi bahwa aku sedang dirundung kasmaran kepada lelaki lain? Idan tidak akan marah, aku tahu. Dia tidak berhak untuk itu. Tapi itu tidak membuat segalanya mudah. Ia bukan lagi sekadar seorang sahabat tempat curahan keluh kesah dan semua masalahku. Ia adalah suamiku, simulasi atau bukan sekalipun. Dan menceritakan hal seperti kartu dari Pram dan bunga mawar putihnya terasa sangat tidak pantas dan kejam untuk dilakukan.

“Ya?” desak Idan.
“Aku.... Idan, kau kenal Indri, kan?”
“Sekretarismu? Tentu.”
“Bekas pacarnya yang pilot itu kembali.”
“Lalu?”
“Sekarang mereka sering bertemu. Suami Indri tidak tahu, tentu. Tapi sekarang Indri bingung. Ia mengaku jatuh cinta lagi dengan bekas pacarnya itu. Dan si bekas pacar ini pun ingin menikahi Indri.”
“Tapi Indri sudah punya anak dua kan?”
“Ya. Tapi menurut si pilot ini, anak bukan masalah. Mereka boleh memilih untuk tinggal dengan siapa.”
“Lalu apa hubungannya semua itu denganmu?”
Aku menghela napas. “Indri bertanya apa yang mesti dia lakukan. Aku tak bisa menjawab.”
“Dan kau bertanya pada pak gurumu. Baik. Eh! Tunggu sebentar,” meskipun ia menutup mikrofon telepon, aku bisa mendengarnya berteriak kepada seseorang di ujung sana, “Tunggu sebentar, ini istriku! Ya, mulailah dulu. Aku menyusul.” Istriku. Aku istrinya. Istrinya. Dan jantungku rasanya melesak ke dalam bumi.

“Maaf. Mereka benar-benar tidak bisa apa-apa tanpaku …,” suara Idan kembali di telepon.
“Karena kau yang membuatkan kopi?”
“Kau!” ia tertawa, lalu segera kembali serius. “…Kupikir Indri dan pacarnya terlalu egois. Mereka tidak bisa lagi hanya memikirkan keinginan mereka sendiri. Ada suami Indri dan anak-anaknya yang juga harus diperhitungkan.”
“…Tapi kalau Indri tidak bahagia lagi menikah dengan suaminya, apa perkawinan itu harus dan bisa dipertahankan?”
“Sebaiknya kau tanya Indri, apa dia benar-benar mencintai bekas pacarnya itu, atau mereka hanya terpesona dengan nostalgia masa lalu? Apa mereka benar-benar saling membutuhkan atau mereka hanya ingin mengulang keindahan masa pacaran mereka dulu? Kalau hanya itu yang mereka inginkan, mereka akan kecewa kalau terus bersama, karena Indri dan pacarnya sudah jadi orang-orang yang berbeda, sudah lebih dewasa, bukan lagi remaja yang masih hijau.”

“Indri bilang dia hanya mencintai lelaki itu, bukan suaminya. Ia tidak pernah mencintai suaminya.”
“Kalau begitu kenapa dulu ia menikah?”
“Keadaan.”
“Maksudnya?”  
“Adik-adiknya sudah ingin menikah semua, tapi orang tuanya tidak mengizinkan karena mereka tidak mau Indri dilangkahi.”
“Astaga. Kasihan sekali.”
“Jadi bagaimana?”
Idan diam sejenak. “Aku tidak tahu, Pit. Yang aku tahu, aku tidak mau jadi penyebab ketidakbahagiaan seseorang. Kalau aku sarankan Indri untuk meninggalkan pacarnya, siapa tahu ia tidak akan pernah bahagia karena merasa terpaksa terus bersama suaminya. Kalau ia meninggalkan suaminya, aku juga tidak menjamin ia akan bahagia dengan orang yang hanya mengenalnya di permukaan, tidak utuh, seperti suaminya.”
“Lantas aku mesti bilang apa?”
“Sampaikan saja petuahku ini kepada Indri. Bilang saja ini saran dari pakar pernikahan kelas dunia yang reputasinya tidak diragukan lagi.”
“Kau sama sekali tidak membantu,” desahku.
“Ini bukan keran bocor atau teve rusak yang bisa diperbaiki begitu saja, Pit. Sedangkan memperbaiki teve rusak saja aku menyerah, jangan lagi mengurusi rumah tangga orang.”

“Bodohnya lagi, aku bertanya kepadamu.”
“Itulah, Pit. Aku sendiri heran kenapa aku mau membuang waktuku dan terpaksa terlambat ikut rapat untuk memberimu saran yang tak berguna.”
Aku tertawa pahit. “Ya, sudah. Pergilah buat kopi sekarang. Terima kasih untuk saran dan waktumu.” 
“Sama-sama. Oh! Bosku ke sini. Aku harus pergi. I love you, Darling!” ia berteriak. Lalu kudengar suaranya, sedikit jauh dari telepon. “Iya, Pak, sebentar. Istri saya ….”
Kututup telepon, tiba-tiba merasa begitu dingin dan sendiri.

Tidak ada komentar :

Posting Komentar