Kamis, 03 Maret 2011

Setelah Kau Menikahiku Part 11

Senyum Idan serta merta surut. Diulurkannya tangannya dan disentuhnya lenganku. “Lain kali kalau kau ingin kuantar ke manapun, bisakah kau bilang minimal sehari sebelumnya? Bukannya aku tidak mau, tapi kalau aku sudah berjanji dengan teman-temanku, aku tidak bisa begitu saja membatalkannya kan?”

Aku mengangguk dengan leher tersumbat.
“Aku juga janji tidak akan sering nonton film action lagi,” katanya kemudian. “Kita memang perlu ngobrol lebih sering. Jangan menangis, Pit Nanti air jerukmu asin.”
“Selamat ulang tahun, Pit.”
Aku terlonjak duduk dan menyalakan lampu. “Idan! Untuk apa kau sepagi ini di kamarku!”
“Memberimu selamat ulang tahun,” jawabnya polos. Dan ia bangkit dari kursinya di sisi tempat tidur dan menarikku hingga berdiri. “Ayo! Aku mau menunjukkan hadiah ulang tahunmu dariku!” Ia menyeretku ke ruang kerja dan menyuruhku duduk di depan komputerku. Ada dua komputer di ruangan itu, satu milik Idan, yang sarat dengan berbagai programming software yang digunakannya untuk bekerja. Dan satu lagi milikku, lebih sederhana dan tidak secanggih milik Idan. Idan menyalakan komputerku dan duduk di sebelahku dengan mata berbinar. Sambil tersenyum geli, aku mencoba menebak apa yang telah disiapkan Idan untukku. Pisi? Personal website, dengan foto dan lagu? Aku menggeleng  dalam hati, Idan tidak cukup romantis untuk itu.
“Kau lihat?” Idan memotong renunganku.
“Apa?”
“Hadiahku.”
Keningku berkerut. Tidak ada yang berbeda dengan tampilan komputer itu. Dengan ragu kuraih mouse dan mengklik tombol Start. Tidak ada yang berubah. Tapi Idan kentara sekali menjadi semakin antusias. Setelah membuka file-file-ku dan sekali lagi tidak menemukan apa pun, aku berpaling kepada Idan dengan ekspresi tak berdaya.
“Kau tidak menemukannya?” tanya Idan, dengan setitik kecewa dalam suaranya.
Aku menggeleng.
“Aku menambah memori komputermu,” akunya kemudian. Dan melihat raut wajahku yang tak berubah, menambah.
“Komputermu sekarang bisa bekerja lebih cepat.”  Aku ingin sekali berbagi kegembiraannya. Ia kelihatan begitu bangga dengan hadiahnya, setidaknya beberapa detik yang lalu, sebelum ia sadar bahwa aku kecewa. “Oh ,” hanya itu yang bisa kukatakan. “Terima kasih.”
“Kau boleh memelukku kalau mau,” katanya tersenyum dan membentangkan kedua tangannya. Kupukul lengannya dan tertawa. Dan pagi itu berlalu seperti hari-hari kemarin. 
Di kantor teman-temanku menyambutku dengan ucapan selamat dan senyum pernuh arti. Ketika aku memasuki ruang kerjaku, aku mengerti kenapa mereka tampak seperti menyembunyikan sesuatu. Di meja kerjaku ada sebuah kotak panjang dengan tutup sel ofan. Setangkai mawar putih. Sesaat jantungku rasanya berhenti berdenyut. Hati-hati kuambil kartu yang menempel pada kotak itu, lupa seketika kepada teman-temanku yang pasti mengawasi lewat kaca ruang kerjaku. Selamat ulang tahun. Masih ingatkah kau kepadaku? Jika ya, aku menunggu di tempat biasa.
Mungkinkah?

Aku keluar untuk makan siang lebih awal, mengabaikan godaan teman-temanku yang tak kenal ampun.

Pram berjanji akan membahagiakan Puspita. Tapi sayang semuanya sudah terlambat. Dia sudah menikah, sekalipun hanya simulasi.

Dalam perjalanan aku kembali memikirkan mawar putih itu. Sejak aku melihatnya, aku tahu kalau itu bukan dari Idan. Idan mustahil bisa seromantis itu. Hanya satu orang yang kutahu pernah dan selalu memberiku mawar putih. Dan ia adalah milik masa lalu yang tak pernah kubayangkan bisa dan akan kembali. Tapi pesan itu?

Restoran itu masih seperti yang kukenang. Sederhana dan tidak mencolok di bagian luarnya; tetapi begitu aku masuk, aku menemukan kedamaian dan ketenangan dalam interiornya yang lapang dan asri, dengan kolam-kolam kecil beri si teratai merah jambu dan putih serta suara gemericik air terjun buatan di sepanjang satu dindingnya.


Tidak ada yang berubah. Dan meja nomor lima itu masih sedikit di sudut, terhalangi seru mpun gelagah. Ketika aku menghampiri meja itu, aku tidak lagi merasa sebagai Puspita yang berusia tiga puluh empat tahun, yang dewasa dan percaya diri, tapi seorang gadis berusia dua puluh tiga tahun, yang tercabik di antara cinta dan ambisi. Di meja itu harusnya seseorang menantiku, seperti sepuluh tahun yang silam. Sebagian hatiku mengingatkan untuk tidak terlalu berharap. Masa lampau mustahil kembali lagi. Tapi segalanya masih begitu serupa dulu, hingga a ku sulit memisahkan kini dan saat itu.

Apalagi saat lelaki di meja itu bangkit menyambutku, menggenggam tanganku dan mengucapkan namaku. “Ita,” kelembutan suaranya masih seperti yang kuingat. Dan wajahnya, walau mulai sedikit berkerut, masih persis seperti yang kukenang. “Kau datang.” 

Tidak ada komentar :

Posting Komentar