Kamis, 03 Maret 2011

Setelah Kau Menikahiku Part 19

Idan bangkit dan duduk mencangkung menatapku. “Tahun ini adalah saat paling bahagia dalam hidupku. Setiap aku bangun pagi dan mendengar suaramu, aku jadi berpikir aku adalah laki-laki paling bahagia di dunia ini. Dan setiap malam waktu aku pulang dan kau tersenyum menyambutku, aku merasa aku jadi manusia paling beruntung di seluruh jagad raya. Aku jadi sangat terbiasa dengan kehadiranmu bahkan mulai berharap kau akan bersamaku terus, walaupun harapan itu, aku tahu, konyol. Tapi kalau kau mencintai seseorang seperti aku mencintaimu, kau akan kehilangan akal sehat.”

Kutatap wajah Idan lekat-lekat. Ia tidak kelihatan sedang bercanda. Ia tampak sangat tenang dan serius.
“ Aku masih belum mengerti,” bisikku.
“Pernikahan ini tidak pernah hanya sebuah simulasi untukku, Pit. Ini adalah pernikahan sesungguhnya untukku.”
“Apa maksudmu kau mencintaiku ?” suaraku tercekik.
“Apa yang tidak kau pahami? Aku mencintaimu,” kata-kata Idan begitu lugas, menghantamku seperti sebuah pukulan keras yang membuatku terempas. “Aku mencintaimu sejak kau memarahiku karena nyaris melindas kelincimu, dua puluh tahun yang lalu, waktu kita masih sama-sama belasan tahun. Dan aku tidak pernah bisa berhenti mencintaimu hingga kini.”

“Kau … kau tidak pernah ….”
“Kau tidak pernah memberiku kesempatan. Kau selalu sedang jatuh cinta dengan orang lain atau patah hati karena orang lain, dan kau selalu datang kepadaku menceritakan semuanya. Aku tahu aku bukan lelaki idamanmu. Aku tidak menggambar. Tidak menulis puisi. Kalau kau bilang sebuah lukisan itu bagus, aku tidak mengerti kenapa. Aku bukan jago pidato dan calon ketua OSIS yang kau gilai di SMA. Aku bukan aktivis kampus yang membuatmu mabuk kepayang waktu kuliah dulu. Aku terlalu biasa-biasa saja. Aku tahu ini sangat menyedihkan, memalukan dan aku benci kau kasihani. Tapi selama ini aku benar-benar tidak punya keberanian, belum lagi kesempatan, untuk berterus terang kepadamu.”

“Kau tidak pernah biasa-biasa saja, Dan,” ujarku lirih. “Kau istimewa dengan caramu sendiri.”  
Ia mengangkat bahu. “Tidak cukup untuk kau cintai.”
Sesaat aku hanya bisa terdiam, menatap kedua mata Idan, mencari tanda-tanda kalau semua ini hanya salah satu dari sekian banyak permainannya. Tapi ia kelihatan sungguh-sungguh.

“Kenapa kau katakan semua ini kepadaku waktu kita akan berpisah seperti ini? Apa yang kau inginkan?” tanyaku datar. Idan tersenyum kecil. Ada kepedihan dalam senyumnya, sesuatu yang tak pernah kutemukan sebelumnya. “Aku sendiri tidak tahu kenapa aku mesti mengatakan semua ini kepadamu. Aku hanya ingin kau tahu aku mencintaimu. Bukan karena aku masih berharap kau akan mencintaiku juga. Sekarang tidak ada bedanya lagi. Tapi aku ingin kau tahu kalau kau tetap memiliki cintaku, apapun yang terjadi, bahkan jika akhirnya kau benci kepadaku atau melupakanku sekalipun.”

Ia tertunduk sesaat. Ada sorot yang asing berpijar di matanya saat ia kembali menatapku. “Dan kalau kau tanya apa yang kuinginkan, aku ingin kau di sini bersamaku, seumur hidupku. Aku ingin kau belajar dan akhirnya benar-benar mencintaiku, mungkin tidak akan pernah sedalam dan separah cintaku kepadamu, tapi setidaknya kau tidak lagi menganggapku hanya sekedar sahabatmu, tapi juga kekasihmu. Aku ingin mencintaimu lebih dari yang pernah kutunjukkan.” Ia menghela napas berat. “Tapi itu semua keinginanku. Bukan kemauanmu. Kebahagiaanku, belum tentu kebahagiaanmu juga.”

Lama kami berdua saling berpandangan. 

“Terima kasih, Dan,” desahku akhirnya. Kupeluk ia erat-erat, menyembunyikan air mataku di bahunya.

Tidak ada komentar :

Posting Komentar