malam itu suhu tubuhku menanjak naik, kepalaku sakit dan tenggorokan nyeri. Aku masih ingat saat Idan menyuruhku menelan sebutir tablet penurun panas dan aku membangkang. Ketika abangku datang untuk memeriksa keadaanku, aku masih bisa menangis dan merengek minta diantar pulang ke rumah orang tuaku. Setelah itu semuanya kabur. Kesadaranku kembali dalam kelebatan-kelebatan singkat. Ketika aku terjaga dan menemukan Idan tengah mengganti kain kompres di dahiku, sentuhannya begitu sejuk dan menenteramkan.
Ketika aku tiba-tiba tersentak dari salah satu mimpi burukku dan mendapati Idan tengah membersihkan ceceran muntahku di lantai. Ketika aku terbangun dari tidurku yang gelisah dan merasakan tangannya erat menggenggam jemariku. Hingga akhirnya, entah setelah berapa lama, aku terbangun dan nyala api dalam kepala dan dadaku telah padam. Jendela kamarku terbuka dan cahaya matahari hangat menerobos masuk, membawa aroma melati dari rumpun di luar kamarku. Ibuku tengah duduk di dekat jendela, membaca.
“Ibu.”
Ibuku menurunkan korannya. Senyumnya mengembang saat ia menghampiriku.“Bagaimana? Sudah enakan?”
“Idan mana?” bisikku. Ah, pertanyaan bodoh. Mungkin seharusnya aku bertanya di mana aku sekarang atau setidak-tidaknya siapa namaku. Kenapa pertanyaan pertamaku harus tentang Idan? rutukku pada diri sendiri.
“ Masih di kantor. Sebentar lagi juga pulang.”
Aku sakit dan dia pergi ke kantor. Suami teladan.
“Ibu sudah berapa lama di sini?”
“Dari pagi. Kau tidak ingat ibu datang pagi tadi?”
Aku mencoba menggeleng dan kepalaku serta merta terbelah tiga. Tapi yang paling menyakitkanku adalah, Idan sama sekali tak peduli aku sakit. Aku berbalik dan memejamkan mata. Air mataku yang panas luruh satu-satu.
Sore itu ketika Idan pulang, aku berpura-pura tidur. Aku sama sekali belum siap untuk bicara lagi dengannya. “Bagaimana, Bu?” tanyanya, suaranya mendekati tempat tidurku. Dan kemudian tangannya hinggap di dahiku, sejuk dan membawa ketenangan. Dengan punggung tangannya ia menyentuh leherku, dan kalaupun aku sanggup menepiskan tangannya dengan tenagaku yang nyaris nihil, aku tak akan mau melakukannya.
“Tadi bangun sebentar , menanyakan kamu. Lalu tidur lagi. Tapi panasnya sudah turun dan tadi siang sudah mau minum susu.” Tangan Idan berpindah ke bahuku dan mulai memijat dengan lembut. Jangan berhenti, jangan berhenti, jangan berhenti, pintaku dalam hati. Tapi ia bangkit dan merapikan selimutku sambil terus bicara dengan ibuku.
“Kalau Ibu capai, Ibu bisa ambil cuti besok.”
Ibu tertawa kecil. “Kau sendiri? Kau tidak tidur entah berapa malam dan kau mengerjakan semuanya. Mencuci, membersihkan rumah, mengurus Upit. Apa kau tidak capai?”
“Saya pakai baterai Energizer, Bu.”
Ibu tertawa lagi, ”Idan, Idan. Kau mesti istirahat juga. Kalau kau sakit, Ibu tidak yakin Upit bisa mengurusmu sesabar kau merawat dia.”
Ibu! Idan itu hanya menantu Ibu! Cuma simulasi pula!
“Sudah tanggung jawab saya, Bu.”
Alangkah klisenya!
Sunyi. “Kau betul-betul tidak butuh bantuan Ibu?”
“Terima kasih. Kalau ada apa-apa, saya pasti telepon Ibu lagi.”
“Baik kalau begitu. Kau tinggal menyuapinya nanti malam, jangan lupa
obatnya. Kalau ia mau, ibu sudah masak bubur di dapur. Kalau tidak, beri saja apa yang dia mau.”
“Ya, Bu.”
“Dan jangan tidak tidur lagi nanti malam. Upit sudah baikan.”
“Baik, Bu.”
Dan saat itu juga aku bersumpah akan membuat malam itu mimpi buruk untuknya. Aku ingin menghukumnya karena kata-katanya yang menyakiti perasaanku. Aku ingin menghukumnya karena ia melukai harga diriku. Dan aku ingin menghukumnya karena ia membuatku benci pada diriku sendiri. Ia yang membuatku sakit dan entah berapa lama tak berdaya, bahkan terpaksa membiarkannya mengurusku seperti bayi. Ia harus membayar untuk semua penghinaan itu. Aku benci, sangat benci padanya.
“Ibu.”
Ibuku menurunkan korannya. Senyumnya mengembang saat ia menghampiriku.“Bagaimana? Sudah enakan?”
“Idan mana?” bisikku. Ah, pertanyaan bodoh. Mungkin seharusnya aku bertanya di mana aku sekarang atau setidak-tidaknya siapa namaku. Kenapa pertanyaan pertamaku harus tentang Idan? rutukku pada diri sendiri.
“ Masih di kantor. Sebentar lagi juga pulang.”
Aku sakit dan dia pergi ke kantor. Suami teladan.
“Ibu sudah berapa lama di sini?”
“Dari pagi. Kau tidak ingat ibu datang pagi tadi?”
Aku mencoba menggeleng dan kepalaku serta merta terbelah tiga. Tapi yang paling menyakitkanku adalah, Idan sama sekali tak peduli aku sakit. Aku berbalik dan memejamkan mata. Air mataku yang panas luruh satu-satu.
Sore itu ketika Idan pulang, aku berpura-pura tidur. Aku sama sekali belum siap untuk bicara lagi dengannya. “Bagaimana, Bu?” tanyanya, suaranya mendekati tempat tidurku. Dan kemudian tangannya hinggap di dahiku, sejuk dan membawa ketenangan. Dengan punggung tangannya ia menyentuh leherku, dan kalaupun aku sanggup menepiskan tangannya dengan tenagaku yang nyaris nihil, aku tak akan mau melakukannya.
“Tadi bangun sebentar , menanyakan kamu. Lalu tidur lagi. Tapi panasnya sudah turun dan tadi siang sudah mau minum susu.” Tangan Idan berpindah ke bahuku dan mulai memijat dengan lembut. Jangan berhenti, jangan berhenti, jangan berhenti, pintaku dalam hati. Tapi ia bangkit dan merapikan selimutku sambil terus bicara dengan ibuku.
“Kalau Ibu capai, Ibu bisa ambil cuti besok.”
Ibu tertawa kecil. “Kau sendiri? Kau tidak tidur entah berapa malam dan kau mengerjakan semuanya. Mencuci, membersihkan rumah, mengurus Upit. Apa kau tidak capai?”
“Saya pakai baterai Energizer, Bu.”
Ibu tertawa lagi, ”Idan, Idan. Kau mesti istirahat juga. Kalau kau sakit, Ibu tidak yakin Upit bisa mengurusmu sesabar kau merawat dia.”
Ibu! Idan itu hanya menantu Ibu! Cuma simulasi pula!
“Sudah tanggung jawab saya, Bu.”
Alangkah klisenya!
Sunyi. “Kau betul-betul tidak butuh bantuan Ibu?”
“Terima kasih. Kalau ada apa-apa, saya pasti telepon Ibu lagi.”
“Baik kalau begitu. Kau tinggal menyuapinya nanti malam, jangan lupa
obatnya. Kalau ia mau, ibu sudah masak bubur di dapur. Kalau tidak, beri saja apa yang dia mau.”
“Ya, Bu.”
“Dan jangan tidak tidur lagi nanti malam. Upit sudah baikan.”
“Baik, Bu.”
Dan saat itu juga aku bersumpah akan membuat malam itu mimpi buruk untuknya. Aku ingin menghukumnya karena kata-katanya yang menyakiti perasaanku. Aku ingin menghukumnya karena ia melukai harga diriku. Dan aku ingin menghukumnya karena ia membuatku benci pada diriku sendiri. Ia yang membuatku sakit dan entah berapa lama tak berdaya, bahkan terpaksa membiarkannya mengurusku seperti bayi. Ia harus membayar untuk semua penghinaan itu. Aku benci, sangat benci padanya.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar